-->

Bagaimana Johannes Marliem Mengontak Tempo dan Apa Percakapannya?





 Johannes Marliem. Facebook/Johannnes Marliem.

RadarRakyat.Info- Johannes Marliem, saksi kasus korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP, dikabarkan tewas pada Jumat, 11 Agustus 2017, di Los Angeles, Amerika Serikat. Penyebab kematiannya masih simpang siur. Sejumlah media memberitakan Marliem bunuh diri. Tapi media lain menyebut Marliem tewas ditembak oleh polisi setempat setelah dia menyandera anak istrinya.

Tempo beberapa kali berkomunikasi dengan Marliem melalui pesan instan dan aplikasi telepon. Kontak pertama terjadi pada 27 April 2017, hampir dua bulan setelah Koran Tempo selama beberapa hari memberitakan kisruh piutang yang ditagih PT Biomorf Lone Indonesia, perusahaan penyedia alat perekaman biometrik (sidik jari, iris mata, dan foto muka) sekaligus pengelola sistem penyimpanan hasil perekamannya dalam proyek e-KTP. Pada akhir Februari hingga awal Maret itu Koran Tempo juga menulis data kependudukan rawan bocor sebab server penyimpanannya masih dikuasai perusahaan asing.

Marliem, Direktur Utama Biomorf Lone LLC yang membawahkan PT Biomorf Lone Indonesia, tiba-tiba mengontak Tempo pada 27 April 2017 lewat aplikasi pesan instan di iPhone dan meminta nomor telepon yang terhubung ke aplikasi WhatsApp. “Pada saat itu, Marliem menolak menyebutkan identitasnya,” kata Pemimpin Redaksi Koran Tempo, Budi Setiyarso.

Pada 9 Mei 2017, Marliem kembali mengontak Tempo dan mengirim rekaman seseorang yang ia sebut sebagai rekaman Irman, mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri yang menjadi terdakwa kasus e-KTP. Tempo kembali menanyakan namanya tapi tak ditanggapi.

Lewat dua bulan kemudian, pada 17 Juli 2017, Marliem menghubungi Tempo lagi. Ia mengaku membaca artikel Koran Tempo berjudul “KPK Kejar Bukti Keterlibatan Setya Novanto ke Amerika”. Kali ini ia membuka identitasnya. Percakapan dilakukan lewat aplikasi telepon selama dua jam. Marliem menceritakan proyek e-KTP dari hulu hingga hilir. “Ia pun selalu menekankan bahwa pemerintah masih berutang kepada perusahaannya,” ujar Budi.

Keesokan harinya, Tempo mengontak Marliem melalui aplikasi telepon video. Tempo bermaksud memastikan bahwa wajah Marliem yang muncul di video sama dengan foto-fotonya yang tersebar di internet. Setelah dipastikan bahwa betul dia adalah Johannes Marliem, Tempo pun mewawancarainya.

Hasil wawancara kemudian dimuat dalam Koran Tempo edisi 19 Juli 2017 berjudul “Saksi Pegang Bukti Keterlibatan Setya”. Dalam edisi juga terdapat potongan wawancara dengan Marliem mengenai bukti-bukti rekaman percakapannya dengan sejumlah orang mengenai proyek e-KTP. Besar file rekaman itu mencapai 500 gigabita. Tempo sudah memastikan kepada Marliem apakah semua informasi yang dia berikan bisa ditulis. Marliem menjawab, “Tulis saja.”

Majalah Tempo juga mewawancarai Marliem secara terpisah. Hasil wawancara itu dimuat pada edisi 24-30 Juli 2017 dalam artikel berjudul “Berburu Bukti ke Luar Negeri”. Kepada Tempo, Marliem mengaku telah diperiksa KPK dan memperdengarkan rekaman yang ia miliki. Tapi ia tak menyerahkan semua rekaman kepada KPK karena komisi antikorupsi enggan mengabulkan keinginannya: memberikan rekomendasi kepada Kementerian Dalam Negeri untuk melunasi utang kepada perusahaannya.

Dalam kesempatan berbeda, KPK menyatakan pembayaran kepada Biomorf berpotensi menambah kerugian negara. Sedangkan Kementerian Dalam Negeri berkali-kali mengatakan bahwa pembayaran kepada Biomorf merupakan tanggung jawab konsorsium PNRI, pemenang tender proyek e-KTP. Kementerian Dalam Negeri menyatakan telah membayar seluruh dana proyek lewat konsorsium.

Setelah pemberitaan di Koran Tempo dan majalah Tempo itu Marliem kembali menghubungi Tempo. Dia mengeluhkan kenapa Tempo tidak mengangkat persoalan piutangnya sebagai masalah utama di dalam tulisan. Ia pun mengoreksi jumlah utang yang mesti dibayarkan pemerintah seperti klaimnya. Bukan US$ 90 juta atau Rp 1,2 triliun seperti yang dinyatakan Kementerian Dalam Negeri, melainkan sekitar Rp 540 miliar.

“Sebagai media yang independen, tentu saja kami tak bisa disetir narasumber. Ada sekian kriteria kenapa suatu topik ditulis, salah satunya karena adanya kepentingan publik yang luas,” kata Budi Setiyarso.

Setelah itu, Marliem kembali menghubungi Tempo dalam beberapa kesempatan. Dalam percakapan tersebut, ia tak lagi mengeluhkan pemberitaan yang ditulis Tempo, malah beberapa kali melontarkan candaan. Marliem terakhir kali mengontak Tempo pada 4 Agustus lalu.

Ketika Marliem dikabarkan tewas pada Jumat, 11 Agustus, lalu, Tempo menghubunginya melalui nomor dan kontak aplikasi yang ia pakai dalam sejumlah wawancara. Semuanya tak bisa lagi dihubungi.(Bdk)




Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Warta Seputar Kita


0 comments:

Posting Komentar