Kilas Balik Keterlibatan Johannes di Kasus e-KTP
JOHANNES: Siapa sangka mati bunuh diri.
RadarRakyat.Info-pemerintah AS mengumumkan bahwa tewasnya Johannes Marliem murni karena bunuh diri, namun publik di negeri ini masih bertanya-tanya kebenarannya. Ini karena Johannes disebut-sebut memiliki rekaman yang menjadi ‘skak mat’ bagi sejumlah nama untuk tidak berkelit dari tuduhan makan uang rakyat alias korupsi. Karenanya, wajar saja kemudian muncul spekulasi bahwa Johannes tewas dibunuh, untuk mengubur bukti yang dimilikinya.
Indra Bonaparte, wartawan bidang hukum
Di negeri ini, para penjahat sudah semakin nekat. Lihat saja apa yang dialami penyidik utama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan, yang diguyur air keras di tengah dirinya sedang gigih mengusut kasus korupsi E-KTP. Setelah Nobel dibantai, tiba-tiba saja Johannes ditemukan tewas dengan luka tembak di kepala di kediamannya di Beverly Grove Los Anggeles AS pada Kamis (10/8) dini hari waktu setempat.
Sejumlah media memberitakan Marliem bunuh diri, namun media lain menyebut Marliem tewas ditembak oleh polisi setempat setelah dia menyandera anak istrinya. Simpang siur, toh?!
Marliem adalah direktur utama PT Biomorf Lone Indonesia, perusahaan atau provider produk Automated Finger Print Identification Sistem (AFIS) merek L-1 yang akan digunakan dalam proyek e-KTP. Perusahaan itu menyediakan alat perekaman biometrik (sidik jari, iris mata, dan foto muka) sekaligus pengelola sistem penyimpanan hasil perekamannya dalam proyek e-KTP.
PT Biomorf Lone Indonesia, yaitu perusahaan asal AS yang merupakan cabang perusahaan PT Biomorf Lone LLC yang bermarkas di AS. PT Biomorf Lone Indonesia sendiri adalah perusahaan subkontraktor dalam konsorsium pemenang tender.
Nama Johannes Marliem mulai mencuat saat sidang di Pengadilan Tipikor pada 13 April 2017 lalu yang menghadirkan terdakwa mantan pejabat Kemendagri Irman dan sugiharto.
Dalam sidang itu, saksi Tri Sampurno yang merupakan anggota tim teknis proyek e-KTP dari BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) mengaku menerima uang 20 ribu dolar AS termasuk pembiayaan dirinya ke AS yang diongkosi PT Biomorf Lone Indonesia yang dipimpin Johannes Marliem.
Bukan hanya itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK dalam sidang penuntutan terhadap Irman dan sugiharto menyebut hingga 25 kali nama Marliem saat membacakan tuntutannya.
JPU kala itu menyatakan bahwa dalam kurun waktu Mei hingga Juni 2010, Johannes Marliem menjadi salah seorang peserta ketika tersangka Andi Agustinus alias Andi Narogong mengumpulkan petinggi perusahaan anggota konsorsium dan perusahaan vendor di sebuah ruko di Jalan Raya Fatmawati Jakarta Selatan. Para petinggi perusahaan anggota konsorsium dan perusahaan vendor kemudian disebut sebagai 'Tim Fatmawati'.
Menurut JPU, Andi Narogong adalah kepanjangan tangan Setya Novanto mulai dari perencanaan, pembahasan anggaran, hingga pengadaan barang proyek E-KTP.
Perusahaan Johannes Marliem sebelumnya sempat disoal, yakni soal data kependudukan yang rawan bocor lantaran server penyimpanannya masih dikuasai perusahaan asing, yakni PT Biomorf Lone LLC. Ini adalah anak perusahaan PT Biomorf Lone Indonesia yang memenangkan tender sebagai provider produk Automated Finger Print Identification Sistem (AFIS) merek L-1.
Dugaan kebocoran itu ditampik oleh Johannes Marliem. Meskipun perusahaannya berbasis di Amerika Serikat, ia menggaransi data kependudukan tidak akan bocor. Pasalnya, server dan storage system berada di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, yakni di kantor Kemendagri RI.
Bukan hanya itu, Johannes Marliem juga sempat mengirim rekaman seseorang yang ia sebut sebagai rekaman suara Irman yang saat itu sudah menjadi terdakwa. Kala itu Johannes mengaku memiliki rekaman percakapan dalam bentuk disk sebanyak 500 Gigabite berisi rekaman percakapan pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi E-KTP, termasuk keterlibatan Setya Novanto. Rekaman percakapan itu berisi semua percakapan jauh sebelum proyek E-KTP dimulai, yakni seluruh percakapan semua pihak yang terlibat dalam berbagai pertemuan yang Johannes ikuti selama 4 tahun sebelum proyek raksasa itu dimulai.
Bukan hanya itu, berkali-kali Johannes menegaskan bahwa pemerintah, dalam hal ini Kemendagri berutang Rp 540 miliar kepada perusahaan yang dipimpinnya. Ia juga mengungkapkan bukti-bukti keterlibatan Ketua DPR RI Setya Novanto. Bahkan Marliem mengaku sudah dua kali diperiksa sebagai saksi oleh penyidik KPK didampingi salah seorang Direktur KPK, yakni pada Februari 2017 di Singapura, dan Juli 2017 di AS.
JPU dari KPK dalam dakwaanya terhadap Andi Agustinus alias Andi Narogong dalam sidang di Pengadilan Tipikor menyebutkan bahwa Andi pertama kali mengenal Johannes di Restoran Peacock, Hotel Sultan Jakarta. Saat itu, beberapa yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah Irman, Sugiharto, Husni Fahmi, Chaeruman Harahap dan Diah Anggaraini.
JPUmengatakan, terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong diperkenalkan kepada Johannes Marliem oleh Diah Anggraini. Saat itu Johannes mengaku sebagai provider produk automated fingerprint identification system (AFIS) merek L-1 yang digunakan dalam proyek E-KTP.
Dilanjutkan JPU, saat itu Andi Narogong mengarahkan Johannes agar berkomunikasi langsung dengan Husni Fahmi selaku ketua tim teknis. Johannes juga disebut-sebut pernah hadir di sebuah ruko, yakni Ruko Fatmawati sebagai salah satu perwakilan dari vendor yang mengerjakan proyek E-KTP, atau para petinggi perusahaan anggota konsorsium dan perusahaan vendor itu kemudian disebut sebagai 'Tim Fatmawati'.
Bukan hanya itu, Tim Fatmawati kemudian mengarahkan spesifikasi teknis untuk pengadaan E-KTP, salah satunya pengadaan AFIS, yang mana Tim Fatmawati diarahkan menggunakan produk milik perusahaan pimpinan Marliem.
Selanjutnya, setelah Konsorsium Percetakan Negara RI dinyatakan lolos beberapa uji dalam proses lelang, atas permintaan Andi Narogong, selanjutnya Johannes memberikan 200 ribu Dolar AS kepada Sugiharto selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Uang sebesar 200 ribu Dolar AS itu diberikan Johannes kepada Sugiharto lewat Yosep Sumartono di Mall Grand Indonesia. Sedangkan Andi Narogong sendiri mendapatkan untung dari proyek itu sebesar 14,88 juta Dolar AS dan Rp 25,24 miliar.
Kini Johannes sudah tiada. Keterangannya kepada KPK sudah masuk dalam berita acara, bahkan akan tertuang dalam berkas dakwaan jaksa KPK. Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan, penyelesaian kasus ini tak terpengaruh dengan kematian Johannes. KPK meluruskan istilah saksi kunci yang diberikan kepada Johannes, karena keterangan atau bukti yang dimilikinya tidak menentukan upaya KPK menyeret para maling uang rakyat dalam kasus e-KTP tersebut.
Selamat jalan Johannes. Semoga engkau tenang di sana, tanpa terpengaruh dengan kebisingan dari hiruk pikuk kasus mega korupsi senilai Rp5,9 triliun tersebut. (Bdk)
Indra Bonaparte, wartawan bidang hukum
Di negeri ini, para penjahat sudah semakin nekat. Lihat saja apa yang dialami penyidik utama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan, yang diguyur air keras di tengah dirinya sedang gigih mengusut kasus korupsi E-KTP. Setelah Nobel dibantai, tiba-tiba saja Johannes ditemukan tewas dengan luka tembak di kepala di kediamannya di Beverly Grove Los Anggeles AS pada Kamis (10/8) dini hari waktu setempat.
Sejumlah media memberitakan Marliem bunuh diri, namun media lain menyebut Marliem tewas ditembak oleh polisi setempat setelah dia menyandera anak istrinya. Simpang siur, toh?!
Marliem adalah direktur utama PT Biomorf Lone Indonesia, perusahaan atau provider produk Automated Finger Print Identification Sistem (AFIS) merek L-1 yang akan digunakan dalam proyek e-KTP. Perusahaan itu menyediakan alat perekaman biometrik (sidik jari, iris mata, dan foto muka) sekaligus pengelola sistem penyimpanan hasil perekamannya dalam proyek e-KTP.
PT Biomorf Lone Indonesia, yaitu perusahaan asal AS yang merupakan cabang perusahaan PT Biomorf Lone LLC yang bermarkas di AS. PT Biomorf Lone Indonesia sendiri adalah perusahaan subkontraktor dalam konsorsium pemenang tender.
Nama Johannes Marliem mulai mencuat saat sidang di Pengadilan Tipikor pada 13 April 2017 lalu yang menghadirkan terdakwa mantan pejabat Kemendagri Irman dan sugiharto.
Dalam sidang itu, saksi Tri Sampurno yang merupakan anggota tim teknis proyek e-KTP dari BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) mengaku menerima uang 20 ribu dolar AS termasuk pembiayaan dirinya ke AS yang diongkosi PT Biomorf Lone Indonesia yang dipimpin Johannes Marliem.
Bukan hanya itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK dalam sidang penuntutan terhadap Irman dan sugiharto menyebut hingga 25 kali nama Marliem saat membacakan tuntutannya.
JPU kala itu menyatakan bahwa dalam kurun waktu Mei hingga Juni 2010, Johannes Marliem menjadi salah seorang peserta ketika tersangka Andi Agustinus alias Andi Narogong mengumpulkan petinggi perusahaan anggota konsorsium dan perusahaan vendor di sebuah ruko di Jalan Raya Fatmawati Jakarta Selatan. Para petinggi perusahaan anggota konsorsium dan perusahaan vendor kemudian disebut sebagai 'Tim Fatmawati'.
Menurut JPU, Andi Narogong adalah kepanjangan tangan Setya Novanto mulai dari perencanaan, pembahasan anggaran, hingga pengadaan barang proyek E-KTP.
Perusahaan Johannes Marliem sebelumnya sempat disoal, yakni soal data kependudukan yang rawan bocor lantaran server penyimpanannya masih dikuasai perusahaan asing, yakni PT Biomorf Lone LLC. Ini adalah anak perusahaan PT Biomorf Lone Indonesia yang memenangkan tender sebagai provider produk Automated Finger Print Identification Sistem (AFIS) merek L-1.
Dugaan kebocoran itu ditampik oleh Johannes Marliem. Meskipun perusahaannya berbasis di Amerika Serikat, ia menggaransi data kependudukan tidak akan bocor. Pasalnya, server dan storage system berada di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, yakni di kantor Kemendagri RI.
Bukan hanya itu, Johannes Marliem juga sempat mengirim rekaman seseorang yang ia sebut sebagai rekaman suara Irman yang saat itu sudah menjadi terdakwa. Kala itu Johannes mengaku memiliki rekaman percakapan dalam bentuk disk sebanyak 500 Gigabite berisi rekaman percakapan pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi E-KTP, termasuk keterlibatan Setya Novanto. Rekaman percakapan itu berisi semua percakapan jauh sebelum proyek E-KTP dimulai, yakni seluruh percakapan semua pihak yang terlibat dalam berbagai pertemuan yang Johannes ikuti selama 4 tahun sebelum proyek raksasa itu dimulai.
Bukan hanya itu, berkali-kali Johannes menegaskan bahwa pemerintah, dalam hal ini Kemendagri berutang Rp 540 miliar kepada perusahaan yang dipimpinnya. Ia juga mengungkapkan bukti-bukti keterlibatan Ketua DPR RI Setya Novanto. Bahkan Marliem mengaku sudah dua kali diperiksa sebagai saksi oleh penyidik KPK didampingi salah seorang Direktur KPK, yakni pada Februari 2017 di Singapura, dan Juli 2017 di AS.
JPU dari KPK dalam dakwaanya terhadap Andi Agustinus alias Andi Narogong dalam sidang di Pengadilan Tipikor menyebutkan bahwa Andi pertama kali mengenal Johannes di Restoran Peacock, Hotel Sultan Jakarta. Saat itu, beberapa yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah Irman, Sugiharto, Husni Fahmi, Chaeruman Harahap dan Diah Anggaraini.
JPUmengatakan, terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong diperkenalkan kepada Johannes Marliem oleh Diah Anggraini. Saat itu Johannes mengaku sebagai provider produk automated fingerprint identification system (AFIS) merek L-1 yang digunakan dalam proyek E-KTP.
Dilanjutkan JPU, saat itu Andi Narogong mengarahkan Johannes agar berkomunikasi langsung dengan Husni Fahmi selaku ketua tim teknis. Johannes juga disebut-sebut pernah hadir di sebuah ruko, yakni Ruko Fatmawati sebagai salah satu perwakilan dari vendor yang mengerjakan proyek E-KTP, atau para petinggi perusahaan anggota konsorsium dan perusahaan vendor itu kemudian disebut sebagai 'Tim Fatmawati'.
Bukan hanya itu, Tim Fatmawati kemudian mengarahkan spesifikasi teknis untuk pengadaan E-KTP, salah satunya pengadaan AFIS, yang mana Tim Fatmawati diarahkan menggunakan produk milik perusahaan pimpinan Marliem.
Selanjutnya, setelah Konsorsium Percetakan Negara RI dinyatakan lolos beberapa uji dalam proses lelang, atas permintaan Andi Narogong, selanjutnya Johannes memberikan 200 ribu Dolar AS kepada Sugiharto selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Uang sebesar 200 ribu Dolar AS itu diberikan Johannes kepada Sugiharto lewat Yosep Sumartono di Mall Grand Indonesia. Sedangkan Andi Narogong sendiri mendapatkan untung dari proyek itu sebesar 14,88 juta Dolar AS dan Rp 25,24 miliar.
Kini Johannes sudah tiada. Keterangannya kepada KPK sudah masuk dalam berita acara, bahkan akan tertuang dalam berkas dakwaan jaksa KPK. Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan, penyelesaian kasus ini tak terpengaruh dengan kematian Johannes. KPK meluruskan istilah saksi kunci yang diberikan kepada Johannes, karena keterangan atau bukti yang dimilikinya tidak menentukan upaya KPK menyeret para maling uang rakyat dalam kasus e-KTP tersebut.
Selamat jalan Johannes. Semoga engkau tenang di sana, tanpa terpengaruh dengan kebisingan dari hiruk pikuk kasus mega korupsi senilai Rp5,9 triliun tersebut. (Bdk)
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Warta Seputar Kita
0 comments:
Posting Komentar